Oleh WENDI PUTRANTO
Industri musik di indonesia saat ini memasuki periode terburuk sejak bisnis ini dimulai pada tahun 1954. Ketika Suyoso Karsono mendirikan label rekaman pertama di Indonesia, Irama, dan menggunakan garasi rumahnya untuk merekam album beberapa grup musik pasti ia tidak menyangka bahwa industri ini bakal berkembang sedemikian pesat berikut segala macam problematikanya.
Suyoso atau akrab dipanggil Mas Yos pasti terkejut mengetahui pembajakan musik di Indonesia peredarannya kini mencapai 90% dari produk aslinya. Hanya 10% saja produk rekaman asli yang beredar di pasaran! Ia mungkin tidak pernah membayangkan perkembangan teknologi telah menyulap piringan hitam yang diproduksinya dulu menjadi kaset, CD, dan kemudian digital yang tidak bebas-bajak. Kondisi buruk inilah yang membuat bangkrut 117 label rekaman lokal milik teman-teman Mas Yos dan segera me-nyusut menjadi 70 label rekaman saja yang tergabung di ASIRI tahun ini.
Mas Yos pasti bakal terkaget-kaget begitu tahu penjualan album rekaman legal terus menurun drastis hingga 20% tiap tahunnya. Mungkin ia bisa kolaps begitu tahu di depan kantor polisi dan di dalam mall kini banyak berjualan lapak-lapak rekaman bajakan. Akhirnya mungkin ia hanya bisa mengurut dada saja ketika tahu pemerintah dan aparat kepolisian hanya berdiam diri dari ke-jauhan menyaksikan industri musik yang dirintisnya masuk ke dalam jurang kehancuran.
Bersyukur Mas Yos kini sudah beristirahat dengan tenang untuk selama-lamanya. Dengan begitu ia tidak harus menyaksikan konser musik yang digemarinya bisa menelan 10 orang penonton tewas sia-sia karena terinjak-injak di pintu keluar venue. Ia juga tak mesti menyaksikan cucu-cucunya yang duduk di bangku SMA menelan kerugian milyaran rupiah akibat kerusuhan massal yang terjadi di pentas seni yang mereka selenggarakan dengan susah payah. Akankah industri musik yang dirintis Mas Yos lima puluh tiga tahun yang lalu kini mendekati kiamat?
Sebagai industri yang menciptakan, menampilkan, mempromosikan, melindungi, dan melestarikan budaya musik maka industri musik di Indonesia yang telah menyumbangkan pajak dan devisa besar bagi negara serta membuka jutaan lapangan pekerjaan di negara ini sudah selayaknya diselamatkan dari kehancuran. Jika sukses, suatu saat nanti bukan mustahil kita akan menikmati apa yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.
Industri hak cipta Amerika yang antara lain terdiri dari bisnis musik, film, TV, DVD, buku, software, dan sebagainya menurut laporan terbaru IIPA [International Intellectual Property Alliance] menyumbangkan US$1,38 triliun atau 11,12% dari GDP Amerika Serikat di tahun 2005. Ditambah lagi industri ini bahkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta orang masih di tahun yang sama. Sebuah angka yang sangat spektakuler tentunya.
Dengan semangat ikut menyelamatkan industri musik tanahair Rolling Stone Indonesia kemudian mencoba menggali informasi, data dan fakta dari para pelaku bisnis musik nasional demi mendapatkan gambaran yang akurat dan komprehensif tentang kondisi obyektif industri musik di Indonesia saat ini.
Kami mengundang beberapa pelaku industri musik nasional yang terdiri dari eksekutif label rekaman major dan indie, artis/musisi, promotor konser, pengamat musik, hingga manajer artis untuk berdiskusi tentang hal ini.
Kami angkat topi setinggi-tingginya bagi Jusac Irwan Sutiono (Managing Director Warner Music Indonesia), Abdee Negara (gitaris Slank & pengusaha Im:port), Ari Lasso (artis), Denny MR (pengamat industri musik/manajer artis), David Tarigan (A&R Aksara Records), Helvi Sjarifuddin (A&R FFWD Records), Denny Sakrie (pengamat musik) yang telah menghabiskan empat jam waktunya untuk berbagi pemikiran demi keberlangsungan industri ini.
Begitu pula salut kepada Sudrajat (Ketua Umum ASIRI), Daniel Tumiwa (Sales & Marketing Director Universal Music Indonesia), Arie Suwardi Widjaja (Direktur A&R Aquarius Musikindo), Yonathan Nugroho (Trinity Optima Production), Arnel Affandi (Managing Director EMI Music Indonesia) dan Jerry Bidara (Label Manager Indo Semar Sakti) yang telah memberikan informasi via telepon.
Akankah 2007 menjadi tahun Vivere Pericoloso (menyerempet bahaya) bagi industri musik Indonesia? Inilah laporannya.
Selanjutnya baca edisi 23
No comments:
Post a Comment